Hitam Putih Birokrasi Indonesia

Secara umum birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah lembaga departemen dan lembaga non departemen, baik di tingkat pusat maupun daerah, seperti propinsi, kabupaten dan kecamatan, bahkan pada tingkat kelurahan atau desa.

Adanya dua mitos dalam sistem politik Barat tentang birokrasi. Yang Pertama menganggap birokrasi sebagai sumber keburukan. Harold J. Laski dalam dalam Encyclopedia of the Social Science menggambarkan birokrasi sebagai penyebar rutin dalam administrasi, mengorbankan fleksibilitas demi peraturan yang kaku, mengulurulur proses pembuatan keputusan dan menolak eksperimen.

Mithos kedua menganggap birokrasi menjalankan peranan pahlawan. Max Weber merupakan pendukung terkemuka pandangan ini. Ia menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi yang paling tinggi dan bentuk administrasi yang paling rasional karena birokrasi merupakan pelaksana pengendalian melalui pengetahuan.

Birokrasi di Indonesia sendiri di mulai dari REFORMASI politik "98 yang menjadi pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi, tetapi fakta sosial menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfkat nyata dari reformasi politik 98. Selama masa Orde Baru masalah-masalah yang dialami oleh birokrasi di Indonesia antara lain:

o Birokrasi di Indonesia lebih banyak mengatur daripada memberikan pelayanan kepada publik. Karena masih banyak bersikap mengatur, akibatnya kemitraan (parthnership) atau proses kolaborasi antara birokrasi dan masyarakat masih dirasakan belum akrab. Sesuai
dengan ramalan Warren Bennis, maka proses kolaborasi itu merupakan ciri yang menonjol dari birokrasi masa depan.

o Birokrasi Indonesia dewasa ini masih terperangkap pada jaringan Parkinsonisme. (Parkinsonisasi merupakan kebijakan menata birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi).

o Masalah ketiga adalah masih menonjolnya ego sektoral bagi masing-masing birokrasi departemen.

o Pelaksanaan tiga asas pemerintahan yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind dalam birokrasi pemerintahan kita belum profesional. Pada intinya sistem pemerintahan ini mengikuti sistem desentralisasi. Akan tetapi pelaksanaannya lebih didominasi oleh pelaksanaan asas dekonsentrasi.

o Birokrasi saat orde baru menempatkan pengembangan karir jabatan pegawai pemerintah lebih ditekankan pada hirarki atas.

o Sentralisasi yang amat kuat

o Menilai tinggi keseragaman dalam struktur organisasi

o Pendelegasian wewenang yang kabur dalam manajemen

o Kesulitan dalam menyusun uraian tugas dan analisis jabatan yang semata-mata bersifat teknis

o Kegagalan dalam upaya menerapkan organisasi matriks

o Perkembangan profesionalisme berdasarkan spesialisasi dalam organisasi yang masih sulit.

Pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi dapat terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini.

Birokrat di Indonesia memiliki kewenangan besar, sehingga hampir semua lini kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.

Dalam masyarakat Madani (civil society), masyarakat merupakan subjek hukum dalam ruang public (Negara), sehingga, ketika terjadi kontrak publik antara masyarakat dan Negara keduanya berada pada posisi sejajar (equal position). Dalam kondisi seperti ini, peran masyarakat cukup penting dalam mendorong untuk mengurangi dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan birokrasi, serta mendorong pelayanan public yang lebih baik.

Saat ini pemerintah Indonesia diwakili Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), mengajukan RUU Administrasi Pemerintahan sebagai standar baku atas perbaikan birokrasi di Indonesia, ini suatu terobosan penting yang perlu di dukung semua pihak, mengapa RUU ini penting? menurut Prof Dr Safii Nugraha, Guru Besar Hukum Tata Negara UI, RUU AP adalah Undang undang Dasarnya Reformasi birokrasi, karena itu bila RUU ini ditetapkan menjadi UU maka dapat merubah wajah birokrasi Indonesia secara fundamental.
Secara filosopis RUU ini menempatkan dan mempertegas masyarakat sebagai subjek hukum ketika berhadapan negara, Negara dalam hal ini diwakili oleh administrasi negara (birokrasi atau aparat Negara), dan UU ini akan menjadi dokumen public bagi hubungan keduanya (Rakyat dan Negara) sehingga masyarakat berada dalam posisi sejajar (equal position) dengan pejabat administrasi Negara, selain itu RUU ini memiliki semangat pencegahan korupsi dari hulu, sehingga berfungsi preventif dalam upaya pencegahan korupsi di tubuh birokrasi pemerintah.